PlanetBlog - Komunitas Blog Indonesia

Jumat, 09 Desember 2011

Contoh Kasus Audit Managemen Keuangan

berikut ini adalah contoh kasus audit managemen keuangan dan penyelesaiannya . Kasus dikutip dari berita detikbandung dan analisis saya buat sendiri dan bisa didownload pada link dibawah ini

http://www.ziddu.com/download/17753636/analisis2.docx.html



PT DI Krisis Karena Pendapatan dan Pengeluaran Tak Seimbang
dikutip dari Tya Eka Yulianti - detikBandung


Bandung - Keterlambatan pembayaran gaji dan berhentinya jaminan pelayanan kesehatan ribuan karyawan PT DI, terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran perusahaan.

Hal itu dikatakan Humas PT DI Rakhendi Triyatna saat dihubungi melalui telepon Kamis malam (10/2/2011). "Mudah-mudahan masalah keuangan ini juga dapat segera diatasi. Adanya miss (ketidakseimbangan keuangan-red) karena kita sudah belanja sekian, sementara pendapatan dari kontrak terlambat. Tapi secara bertahap akan kita atasi bersama," tuturnya.

Menurutnya, saat ini PT DI tengah berjuang untuk mengembalikan performa perusahaan agar menjadi stabil. Untuk mengembalikan stabilitas perusahaan, ia pun meminta seluruh stakeholder termasuk karyawan untuk bekerjasama.

"Saat ini kami berusaha agar pemasukan kembali normal dan kepercayaan meningkat. Sekarang bisa dikatakan perusahaan sedang memasuki tahap stabilitas. Sampai nanti tahun 2013 akan ada pertumbuhan. Masalah ini memerlukan pengertian yang mendalam, karena persoalan ini komprehensif. Karyawan pun mengerti bena situasinya, semuanya membutuhkan kerja keras dari semua pihak. Karyawan telah begitu baik dan bersabar, kami begitu berterimakasih," tuturnya.

Rakhendi mengungkapkan, PT DI telah diambil alih oleh PT PPA (Perusahaan Pengelola Aset) pada akhir 2010. Dikelolanya PT DI oleh PT PPA menurutnya adalah respon pemerintah atas masalah yang tengah dihadapi PT DI.

"Ada suntikan modal baru atau apa, saya belum tahu. Yang pasti perusahaan akan direvitalisasi," kata Rakhendi.

Sebelumnya pihak karyawan mengeluhkan soal keterlambatan gaji sejak lima bulan terakhir. Tak hanya itu, jaminan kesehatan pun dihentikan. Saat ini jumlah karyawan PT DI 3 ribu orang.
Bangkit Lewat Ketiak Sayap Airbus

Dalam beberapa kesempatan, Prof Dr Ing Bacharuddin Jusuf Habibie mengaku sangat kecewa melihat nasib PT Dirgantara Indonesia. Sebab, industri pesawat terbang yang dirintisnya itu kini jalan di tempat. Bagaimana kondisinya sekarang?
---
" KITA pernah mengembangkan sendiri pesawat terbang CN-235 dan N-250 untuk membuktikan bahwa SDM Indonesia mampu menguasai dan mengembangkan teknologi secanggih apa pun. Di mana itu semua sekarang?" tegas B.J. Habibie, mantan presiden RI, di depan peserta kuliah umum bertema Filsafat dan Teknologi untuk Pembangunan di Balai Sidang Universitas Indonesia (UI), Depok, Jumat lalu (12/3).

Ya, PT Dirgantara Indonesia (PT DI) memang tidak bisa dibandingkan dengan ketika perusahaan itu masih bernama Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) dan Habibie masih menjabat presiden direktur. Saat itu IPTN memiliki 16 ribu karyawan. Kompleks gedung IPTN di kawasan Jalan Pajajaran, Bandung, berdiri megah, menempati lahan seluas 83 hektare.

Yang paling laris adalah pesawat CN-235. Pesawat berkapasitas 35 sampai 40 orang itu paling banyak diorder dari dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu, ada pesawat C-212 (kapasitas 19-24 orang). Produk chopper alias helikopter juga tak mau kalah. Ada NBO-105, NAS-332 Super Puma, NBell-412, dan sebagainya. Semua produk burung besi tersebut begitu membanggakan bangsa saat itu.

Namun, persoalan muncul saat krisis ekonomi menggebuk Indonesia pada 1998. Ketika itu, PT DI yang bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) mendapat order membuat pesawat N-250 dari luar negeri. Pesawat terbang ini berkapasitas 50 hingga 64 orang. Sebuah kapasitas ideal untuk penerbangan komersial domestik. Umumnya pesawat domestik di tanah air saat ini menggunakan pesawat dari kelas yang tak jauh berbeda dari N-250.

PT DI menerima pesanan 120 pesawat. Ongkos proyek yang disepakati USD 1,2 milliar. PT DI langsung tancap gas. Ribuan karyawan direkrut. Mesin-mesin pembuat komponen didatangkan. ''Kami berupaya keras menyelesaikan proyek itu sesuai target,'' tutur Direktur Integrasi Pesawat PT DI Budiwuraskito saat ditemui Jawa Pos di Bandung pekan lalu.

Namun, PT DI harus menelan pil pahit. Pemulihan krisis ekonomi bersama International Monetary Fund alias IMF mengharuskan Indonesia menerima sejumlah kesepakatan. Salah satunya, Indonesia tak boleh lagi berdagang pesawat. ''Itu benar-benar memukul kami,'' kata Budiwuraskito, pria Semarang ini.

Padahal, kata Budi, PT DI telanjur merekrut banyak karyawan. Sejumlah teknologi dan peralatan sudah didatangkan. Semua siap produksi. Pesawat contoh bahkan sudah jadi, sudah bisa terbang, dan siap dijual. Tinggal menunggu proses sertifikasi penerbangan. ''Nggak tahu, mungkin ada negara yang takut tersaingi kalau Indonesia bikin pesawat,'' ujarnya mengingat sejarah kelam PT DI itu.

Bayangan menerima duit gede USD 1,2 milliar menguap. Malah, PT DI harus memikirkan cara menghidupi karyawan yang telanjur direkrut. Proyek memang batal, tapi orang-orang yang hidup dari PT DI juga tetap harus dikasih makan. ''Akhirnya, mau tidak mau, kami mem-PHK karyawan secara baik-baik,'' katanya.

Pada 2003, PT DI memutus kerja sembilan ribu lebih karyawan. Jumlah itu terus bertambah. Dari 16 ribu pekerja, PT DI hanya menyisakan tiga ribu pekerja. Baik di bagian produksi maupun manajemen. Kondisi itu semakin membuat PT DI terpuruk. Apalagi, tak ada lagi order pesawat yang datang. Roda perusahaan pun tak berjalan.

Namun, PT DI berupaya mempertahankan diri. Semua pasar yang bisa menghasilkan duit disasar. Mulai pembuatan komponen pesawat hingga industri rumah tangga seperti pembuatan sendok, garpu, dan sejenisnya. Salah satunya membuat alat pencetak panci.
''Pabrik-pabrik pembuat panci itu kan perlu alat pencetak. Biasanya mereka impor dari luar negeri. Mengapa harus impor kalau bisa kita bikinin. Dan, itu lumayan untuk membuat roda perusahaan berjalan,'' kata Budi. Tapi, urusan panci itu tak banyak membantu. Pada 2007, BUMN yang didirikan pada 26 April 1976 itu dinyatakan pailit alias bangkrut.
***
PT DI tak lantas almarhum. Pemerintah masih punya keinginan mengembangkannya meski modal yang diberikan tak terlalu deras. Dan, kendati sudah dinyatakan pailit, masih ada rekanan dari mancanegara yang percaya akan kualitas produk PT DI.

Salah satunya British Aerospace (BAE). PT DI mendapat order sebagai subkontrak sayap pesawat Airbus A380 dari pabrik burung besi asal Inggris itu. Juga ada order dari dua negara Timur Tengah enam pesawat jenis N-2130. Apalagi, Indonesia sudah menceraikan IMF. Artinya, PT DI sudah leluasa berdagang pesawat.

Budi menuturkan, order enam pesawat itulah yang bisa dibilang ''menyelamatkan'' PT DI saat itu. Laba dari pesanan itu digunakan sebagai modal pengembangan. Selain itu, PT DI semakin fokus menggarap pasar komponen dan bagian-bagian pesawat dengan menjadi subkontrak atau offset program. Antara lain bagian inboard outer fixed leading edge (IOFLE) dan drive rib alias ''ketiak'' sayap milik Airbus A380.

Airbus A380 adalah pesawat bikinan Airbus SAS (Prancis) yang sudah kondang di jagat dirgantara. Pesawat ini biasanya digunakan untuk penerbangan internasional lintas benua dengan muatan 500 hingga 800 penumpang. ''Kita mencoba meraih untung dengan menjadi subkontrak dari pemain besar,'' kata Budi.

Kondisi PT DI terus membaik. Dalam waktu dekat mereka akan memproduksi pesawat tempur dengan dana urunan bersama pemerintah Korea Selatan (Korsel) sebesar USD 8 milliar. Indonesia menyumbang USD 2 milliar, sedangkan pemerintah Korsel USD 6 milliar. ''Tapi, untuk Indonesia itu akan kita konversikan dalam bentuk tenaga, teknologi, dan pengembangan pesawat tersebut,'' katanya.

Kemampuannya tak jauh berbeda dengan F-16 Fightning Falcon, pesawat tempur kondang buatan Amerika Serikat yang digunakan 24 negara di dunia. Rinciannya, 200 unit untuk Korsel dan 50 untuk Indonesia. ''Proyek ini memakan waktu sampai tujuh tahun,'' kata Budi.

Selain itu, order dari Timur Tengah terus berdatangan. Sejumlah negara memesan CN-235 untuk pesawat pengawas pantai, pengangkut personel militer, dan pemantau perbatasan. Dari dalam negeri, Kementerian Pertahanan (Kemhan) juga memesan enam unit helikopter dan Badan SAR Nasional (Basarnas) empat unit.

Budi mengakui, tren industri dirgantara di Indonesia terus naik kendati perlahan. Paling tidak, tujuh tahun ke depan, PT DI bisa meraup laba yang lumayan dari membuat pesawat. Sebenarnya, kata Budi, keuntungan itu bisa didongkrak bila ada keberanian mencari pinjaman. Tapi, itu bakal sulit. ''Tidak banyak bank yang mau. Sebab, risikonya terlalu tinggi. Padahal, semakin tinggi risiko, janji revenue juga besar,'' kata Budi yang lulusan Teknik Penerbangan, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan menyelesaikan gelar MBA di Belanda itu.

Strategi pengembangan PT DI saat ini, kata Budi, tak bisa terlalu ekspansif. PT DI memilih berjalan perlahan dengan memanfaatkan margin keuntungan sebagai modal pengembangan. ''Begini saja, lebih aman,'' kata Budi lantas tersenyum. (aga/c2/iro)


PT DI Butuh Modal Kerja Rp 600 M untuk Bisa Bertahan
Tya Eka Yulianti - detikBandung
<p>Your browser does not support iframes.</p>



Bandung - Agar perusahaan tetap berjalan, PT Dirgantara Indonesia (PT DI) membutuhkan modal kerja sekitar Rp 600 miliar atau sepertiga dari target penjualan per tahun. Saat ini meski ada pesanan, PT DI tak berani menerimanya karena tak punya modal cukup.

"Kita masih bisa maintance, kalau punya sale Rp 1,5 sampai Rp 2 triliun per tahun. Dulu kita tidak punya order yang cukup, tapi di 2008-2009 kita punya backlog di atas Rp 2 triliun. Jadi kalau kita punya modal cukup dengan order seperti itu bisa jalan lagi perusahaan ini," ujar Dirut PT DI Budi Santoso saat ditemui dalam acara Ferry Flight CN235-220 ke Senegal Afrika, di Hanggar PTDI, Kamis (5/5/2011).

Ia mengungkapkan saat ini target tersebut sulit tercapai karena ketiadaan modal kerja. "Jadi 2010 kemarin bukan karena enggak dapat order, tapi karena enggak berani. Kalau saya dapat kan saya harus punya modal kerja. Karena kalau saya ngambil order saya bisa kena denda karena enggak punya modal cukup. Buat yang nyelesein proyek yang ada aja utangnya udah pol-polan. Udah nggak mungkin utang lagi," katanya.

Jumlah kebutuhan modal kerja, disebut Budi dibutuhkan sekitar Rp 600 miliar. Modal kerja tersebut disebut Budi akan digunakan untuk memaksimalkan order.

"Modal kerja yang dibutuhkan sekitar Rp 600 miliar. Muternya juga agak lama, lebih dari 1 tahun. Kalau ada order kita bikin, itu 1-2 tahun baru jadi cash lagi. Jadi modalnya memang agak besar," katanya.

Meski begitu Budi mengaku dari sisi marketing, PT DI masih terbilang baik karena masih banyak yang percaya pada kemampuan PT DI. "Marketing relatif baik, dengan kondisi perusahaan seperti ini kita masih dapat kepercayaan dari luar negeri. Ini juga harus dimaintance kepercayaan ini," katanya.

Menteri BUMN Tak Tahu Gaji Karyawan PT DI Telat Dibayar
Jakarta - Menteri BUMN Mustafa Abubakar belum akan menegur direksi PT Dirgantara Indonesia (DI) terkait telatnya pembayaran gaji karyawan dalam 5 bulan terakhir. Karena dirinya belum mendapatkan laporan soal keterlambatan gaji karyawan tersbeut.

"Waktu itu kan keterlambatan (gaji) karena PT DI masuk PPA (Perusahaan Pengelola Aset). Tapi sudah beres," kata Mustafa di kantornya, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Kamis (10/2/2011).

Meski mengaku sudah beres, ternyata masih ada keluhan karyawan PT DI soal pembayaran gaji yang molor. Namun Mustafa mengaku belum mendapat laporan.

Mustafa juga belum akan menegur jajaran direksi PT DI terkait aksi para karyawannya. "Kita akan lihat nanti. Sampai saat ini belum ada laporan kepada saya," tutur Mustafa.

Seperti diketahui, keterlambatan gaji karyawan telah terjadi selama 5 bulan terakhir. Ketua Umum Serikat Pekerja DI (Spedi) Haribes dalam jumpa pers di Bandung menyebutkan, krisis keuangan perseroan akibat tidak seimbangnya pendapatan dan pengeluaran.

Bahkan memburuknya keungan telah terjadi sejak 2008. Serikat pekerja perseroan menggambarkan PTDI seperti terkena serangan stroke.

Gaji yang seharusnya dibayarkan pada tanggal 25 atau 26 di setiap bulan selalu dibayarkan di bulan kemudian.

"Bahkan gaji di bulan Oktober dibayarkan di Desember. Gaji bulan Oktober dibayar tanggal 2 Desember, sementara gaji November dibayar 8 Desember. Gaji bulan Januari ini saja belum dibayar sepenuhnya," jelasnya

0 comments:

Template by:

Free Blog Templates